Ekopedagogi atau pendidikan peduli lingkungan hidup bagi anak-anak usia dini hingga SMA/sederajat harus dipromosikan sebagai bidang pendidikan baru dan diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan. Harapannya, generasi muda sebagai calon pemimpin dapat menjaga keselarasan dan keseimbangan lingkungan sehingga mencegah terjadinya perusakan dan pencemaran sumber daya alam (SDA).
Anggota Ombudsman RI, Hery Susanto, menerangkan, ada tiga paradigma arah ekopedagogi yang saling berhubungan erat. Pertama, antroposentrisme atau manusia adalah paling pusat dan penting; kedua, biosentrisme yang menekankan manusia sebagai bagian lingkungan hidup; dan ketiga, ekosentrisme alias pradigma berpikirnya lebih menekankan lingkungan hidup menjadi sentral.
“Ini berhubungan dengan Ombudsman RI sebagai lembaga pengawas untuk ikut mengawasi faktor yang timbul. Ini berdampak tidak untuk hari ini, tapi untuk anak kita sebagai generasi yang mengemban akibat dari yang telah dilakukan oleh pendahulunya kapada lingkungan,” tuturnya selaku pembicara kunci diskusi kelompok terpumpun "Urgensi Ekopedagogik sebagai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan BUMN Sektor SDA" di Jakarta, Selasa (28/2).
Hery melanjutkan, marak terjadi perusakan lingkungan hidup tanpa menjalankan pembangunan berkelanjutan. Karenanya, perlu dukungan seluruh pihak sesuai dimensi Sustainable Development Goals (SDGs) berkarakteristik inklusif dalam mencapai 3 tujuan pada 2030: mengakhiri kemiskinan, mencapai kesetaraan, dan mengatasi perubahan iklim.
Perusahaan negara, menurutnya, mesti turut berperan mengingat Menteri BUMN mengarahkan agar program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) diarahkan ke bidang pendidikan, UMKM, dan lingkungan hidup. Selain itu, Pasal 1 nomor 3 Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2007 tentang PT serta pelaksanaan program tanggung jawab sosial lingkungan (TJSL) BUMN.
“Tujuan dari diskusi ini ada tiga poin penting, yaitu mendapatkan informasi dan penjelasan mengenai ekopedagogi dalam implementasi TJSL, mengidentifikasi permasalahan dan faktor yang timbul dari implementasi kegiatan TJSL yang diselenggarakan oleh badan usaha milik negera, serta mendapatkan informasi dan data terkait implementasi kegiatan TJSL yang diselenggarakan oleh badan usaha milik negera,” paparnya dalam keterangannya.
Hery berharap keluaran dalam kegiatan ini mendorong penyelenggara pelayanan publik di sektor SDA mengimplementasikan ekopedagogi dalam pelaksanaan TJSL-nya di ranah publik. Ombudsman siap bersinergi demi penataan dan pengelolaan sumber daya yang lebih baik dan mengawasi pembangunan SDA agar berjalan sesuai perundang-undangan.
Sementara itu, Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ahman Sya, memaparkan, ekopedagogi merupakan perkembangan teori dan praktik pedagogi kritis atau tubuh praksis pendidikan. Menurut International Hanbook of Ecopedagogy tahun 2012, ekopedagogi bertujuan menyediakan anak-anak dan siswa dari segala usia dengan pengetahuan tentang cara mengatasi yang paling serius masalah kontemporer dan masa dapan.
“Di antaranya perusakan alam, udara, air, makanan, hutan binatang dan tanaman; perubahan iklim; rekah (rekah hidrolik, red) dan rekayasa kebumian penipisan lapisan ozon; kerusakan kota; krisis komunikasi manusia; ketergantungan teknologi; itu perlindungan anak-anak yang menggunakan internet; perang tanpa akhir dan banyak lagi,” urainya.
Ahman Sya berpendapat, pelaksanaan ekopedagogi bagi Indonesia memiliki peran penting. Misalnya, memiliki rasa idealisme, patriotisme, nasionalisme, persatuan dan kesatuan, serta Indonesia maju dan sejahtera.
Pada kesempatan sama, Sekjen Kementerian ESDM, Rida Mulyana, menyampaikan, pihaknya melaksanakan program pemberdayaan masyarakat (PPM) yang beririsan dengan ekopedagogi. Dicontohkannya dengan kegiatan-kegiatan yang mendorong peningkatan perekonomian, pendidikan, sosial, budaya, kesehatan, dan lingkungan kehidupan masyarakat di sekitar proyek sektor ESDM.
“Pada pelaksanaan pengawasan dan monitoring program utama PPM di sektor minyak dan gas (migas), dilakukan evaluasi dengan berkoordinasi dengan SKK Migas, mengoleksi informasi pelaksanaan dan dampak melalui wawancara, memantau perencanaan, implementasi dan evaluasi program pengembangan masyarakat dan lingkungan serta menggali dan mendokumentasikan program PPM yang berhasil agar menginspirasi,” paparnya.
“Sedangkan pada sektor mineral dan batu bara (minerba), melakukan pemantauan perencanaan, implementasi dan evaluasi program pengembangan masyarakat, mengoleksi informasi pelaksanaan dan dampak, melakukan monitoring dan evaluasi atas penyampaian realisasi PPM. Ketika terjadi kenaikan produksi, maka alokasi PPM bertambah, pembiayaan dialrang tumpang tindih, menggali dan mendokumentasikan PPM yang berhasil, serta jika realisasi tidak tercapai, maka biaya PPM wajib ditambahkan pada tahun berikutnya,” imbuhnya.
Adapun Asisten Deputi Bidang TJSL Kementerian BUMN, Edi Eko Cahyono, mengklaim program TJSL BUMN sebagai komitmen terhadap pembangunan yang berkelanjutan serta bermanfaat secara ekonomi, sosial, lingkungan, hukum, dan tata kelola sesuai prinsip akuntabilitas, terintegrasi, terarah, dan terukur dampak. “Program ini berorientasi pada tujuan pembangunan dengan empat pilar, yaitu sosial, ekonomi, lingkungan, hukum, dan tata kelola.”
Dirinya lalu menyinggung beberapa ekopedagogi dalam implementasi TJSL. Misalnya, penanaman terumbu karang di Natuna, pelertarian mangrove, konservasi penyu, repatriasi kura-kura leher ular rote, edukasi bahaya sampah dan pelestarian lingkungan, bank sampah, serta konservasi hutan binaan digital.